Label

Rabu, 18 Januari 2012

borjuis dan proletar

KONFLIK BORJUIS DAN PROLETAR INDONESA
Oleh : Ahmad Mubarok
Belum juga kasus di Papua selesai, Indonesia kembali mendapat duka, setelah tersebarnya video pembantaian warga Tanjung Raya, Kabupaten Mesuji, provinsi Lampung oleh aparat Negara yang bertugas dan di bayar untuk menjaga keamanan di perkebunan kelapa sawit PT BSMI. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan mendasar yang harus kita ketahui, karena kejadian ini memberikan sinyal kepada Indonesia bahwa ada kesalahan system yang sangat mendasar yang selama ini berlaku. Dalam kasus ini, kenapa rakyat yang dijadikan korban oleh aparat? Bukankah aparat digaji setiap bulan oleh uang rakyat?
Peristiwa ini, bermula dari sengketa perebutan tanah antara warga setempat yang berprofesi sebagai petani sawit, dan perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta PT BSMI. Para petani menganggap tanah yang menjadi sengketa adalah tanah mereka, karena mereka sudah bertahun-tahun hidup dan menempati lahan itu. Selama waktu yang telah lewat, tidak pernah ada masalah terkait kepemilikia tanah, karena memang sebelum para petani datang dan menggunakan lahan, tanah itu adalah tanah kosong yang tidak terawat.
Namun semenjak PT BSMI datang dengan membawa sertifikat kepemilikan tanah, rasa kepemilikan warga terhadap tanah yang telah mereka Tanami selama bertahun-tahun, seolah terampas begitu saja tanpa ada keterangan yang jelas. Warga setempat yang merasa telah membuka hutan belukar dan menjadikannya sebagai lahan perkebunan sawit yang menghasilkan penghidupan bagi mereka, merasa tidak terima dengan pengakuan tanah oleh PT BSMI  dengan hanya bermodak sertifikat.
Analisa Konflik
Dalam beberapa kasus konflik, seperti kasus Mesuji dan kasus Free Port sebagai contoh kecil, terdapat dua agent yang selalu muncul dalam perebutan hak. Yang pertama adalah agent bawah yang ditempati oleh rakyat kecil, karyawan, buruh tani, kuli bangunan, pedagang kaki lima atau pedagang kecil, dan agent-agent yang biasanya bersetatus kelas ekonomi menengah kebawah. Agent bawah lah yang selalu mengadakan perlawanan dan membuat gaduh dalam setiap kejadian konflik. Kasus Mesuji misalnya, diawali dari rasa tidak terima warga sekitar terhadap pengambilan hak milik tanah oleh PT BSMI. Kasus free port diawali dari kekesalan para buruh local yang tidak mendapatkan gajih dengan layak. Baik kasus Mesuji maupun kasus Papua, sama-sama diawali dari ulah agent bawah yang merasa dirugikan.
Yang kedua adalah agent atas, yang ditempati oleh para pengusaha kaya raya, saudagar, investor saham, pemilik pabrik, pemilik perkebunan, pemilik modal, dan agent-agent yang bersetatus kelas ekonomi menengah keatas. Agent atas memiliki kuasa yang sangat kuat karena memiliki modal besar untuk membeli segala sesuatu yang ia inginkan. Termasuk membeli tenaga-tenaga para agent bawah, maupun membeli hak milik mereka.
Dalam bahasa Karl Mark melalui teori konfliknya, menyebutkan bahwa dalam setiap masyarakat selalu memunculkan dua kelas yang saling berlawanan, yaitu kelas borjuis atau pemodal dan kelas proletar atau pekerja. Kelas borjuis memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap tatanan nilai-nilai masyarakat, karena dengan modal yang dimiliki, mereka dapat membuat aturan-aturan yang mengikat kelas proletar. Bagi kelas proletar, mengikuti aturan yang dibuat oleh para borjuis adalah suatu tuntutan hidup. Karena jika mereka ingin menyambung hidup, maka mereka harus bekerja, dan agent yang menyediakan lapangan pekerjaan adalah kelar borjuis. Maka antara kelas borjuis dan proletar memiliki daya tarik masing-masing, dimana kelas borjuis membutuhkan kelas proletar, dan kelas proletar pun membutuhkan kelas borjuis.
Namun dalam perkembangannya, kelas pemodal dan pekerja memiliki daya tawar yang berbeda. Jika kelas pemodal dapat leluasa memecat dan menerima pekerja baru, lain halnya dengan kelas pekerja. Mereka tidak dapat seenak hati bertingkah layaknya kelas pemodal, karena kelas pekerja selalu ditekan untuk dapat bekerja dengan giat dan menghasilkan produksi yang besar.
Oleh karena itu, kelas pekerja yang selalu ditekan dan bahkan seringkali tidak mendapatkan keadilan antara kerja kerasnya dan gaji yang diterimanya, maka kelas pekerjalah yag selalu melakukan perlawana terhadap ketidak adilan dan perampasan hak-hak mereka. Sedangkan kelas pemodal sendiri memiliki paradigma yang merugikan kelas pekerja, seperti apa yang di ungkapkan oleh Adam Smit, yaitu : “dengan modal minimal, berbuah hasil maksimal”, dalam teori pasarnya. Hal ini jelas menimbulkan gesekan yang sangat sulit untuk di satukan.
Dari segi kuantitasnya, agent bawah selalu mendominasi posisi kelas, namun dari segi kekuasaan, agent bawah selalu menjadi korban agent atas. Maka ketika terjadi konflik agent bawah dan agent atas, agent atas akan mencaari pihak luar yang dapat melindunginya dari serangan agent bawah. Dalam konteks Indonesia khusunya kasus Papua da Mesuji, pihak luar ini adalah pihak Negara yang dibiayai oleh perusahaan maupun pemilik modal.
Aparat sendiri memiliki tugas utama mengamankan kekacauan di Negara republic Indonesia ini. Tugas ini, dalam kasus perselisihan kelas bawah dan atas selalu dimanfaatkan agent atas untuk mengamankan harta benda dan keamanan dirinya dari serangan kelas bawah. Oleh karena itu, kasus Papua dan kasus Masuji sama-sama menjadikan rakyat korban demi kepentingan para pemodal yang dilakukan oleh aparat Negara.
Ulah Kapitalis
Sepintas, kasus Papua maupun Mesuji seolah menjadikan aparat Negara sebagai pihak yang salah, karena mereka malakukan berbagai tindakan kekerasan kepada rakyatnya sendiri yang sedang mencari keadilan dan mempertahankan hak-haknya. Namun jika kita telisik lagi, ternyata kesalahan terbesar segala kekacauan adalah system masyarakat yang di ciptakan pemerintah, dengan tidak menafikan kesalahan aparat negara. Pemerintah dengan sengaja menciptakan struktur social kelas pemodal dan kelas pekerja yang memberikan kekuasaan yang sangat besar bagi kelas pemodal, dan melupakan nasib kelas pekerja.
Seperti apa yang di ungkapka Karl Mark, adanya kelas pemodal dan kelas pekerja adalah suatu keniscayaan. Namun dalam keniscayaan ini, ada hal yang sering dilupakan oleh pemerintah, yang memiliki akibat berbagai konflik sperti Konflik Papua dan Mesuji, yaitu keseimbangan hokum dan keseimbangan perhatian antara kelas borjuis dan kelas proletar.
Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
Fakultas Tarbiyah dan keguruan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar